Siapa yang tidak kenal dengan tokoh ini? Prof. Dr. Ing. Dr. Sc.h.c. Bacharuddin Jusuf Habibie dilahirkan di Pare – Pare tanggal 25 Juni 1936. Anak keempat dari delapan bersaudara dari pasangan RA. Tuti Marini Puspowardoyo dan Alwi Abdul Jalil Habibie.
Pare – Pare dengan kontur geografis lebih dari 85% wilayahnya merupakan areal yang bergelombang (15-40%) dengan luas keseluruhan 5.621 Ha, berbukit-bukit sampai bergunung (>40%) dengan luas 3.215,04 Ha, sehingga untuk pengembangan fisik kota akan sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi ini.
Sangatlah “wajar” seorang Habibie memiliki kecerdasan yang luar biasa. Berasal dari daerah yang berbukit – bukit sampai bergunung lebih dari 40% itu saja sudah menempa Habibie kecil lebih tegar dan kerja keras. Kalau kita perhatikan di Siroh Nabawiyah (sejarah nabi) kenapa pula Rasulullah Muhammad SAW yang terlahir di daerah tandus dan gersang tapi malah mengembala kambing. Tentu ada hikmah besar di situ. Pun demikian, Habibi yang terlahir di daerah perbukitan bahkan bergunung. Tentu dibutuhkan fisik prima, kerja keras, ulet dan pantang menyerah. Nilai pengajaran itulah yang sudah diterima Habibie kecil dan tentu sedikit banyak berpengaruh terhadap perjalanan hidupnya sekarang.
Setelah bertahun – tahun kuliah di Jerman dengan berbagai prestasinya, BJ Habibie kembali ke tanah air atas undangan Presiden Soeharto. Dan langsung dipercaya memimpin Divisi Advanced Technology Pertamina yang merupakan cikal bakal BPPT (1974-1978), Penasehat Pemerintah RI di Bidang Pengembangan Teknologi dan Pesawat Terbang yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden Soeharto (1974-1978).
Pada 10 Agustus 1995 dia berhasil menerbangkan pesawat terbang N-250 “Gatotkoco” kelas commuter asli buatan dan desain putra-putra terbaik bangsa yang bergabung dalam PT Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN, kini menjadi PT Dirgantara Indonesia), dia diserang pelaku ekonomi lain bahwa yang dibutuhkan rakyat Indonesia adalah beras bukan “mainan” pesawat terbang.
Pemikiran ekonomi makro Habibie yang terkenal dengan Habibienomics, dihadirkan oleh lingkarannya sebagai counter pemikiran lain seperti Widjojonomics (yang sesungguhnya merupakan Soehartonomic). Ketika Habibie berhasil melakukan imbal-beli pesawat terbang “Tetuko” CN-235 dengan beras ketan itam Thailand, dia diledekin, pesawat terbangnya hanya sekelas ketan itam.
Dan kontroversi paling hangat adalah ketika dia menawarkan opsi otonomi luas atau bebas menentukan nasib sendiri kepada rakyat Timor Timur, satu propinsi termuda Indonesia yang direbut dan dipertahankan dengan susah payah oleh rezim Soeharto. Siapapun dia orangnya tentu ingin bebas merdeka termasuk rakyat Timor Timur, sehingga ketika jajak pendapat dilakukan pilihan terhadap bebas menentukan nasib sendiri (merdeka) unggul mutlak.
Masalah Tim-Tim, salah-satu yang dianggap menjadi penyebab penolakan pidato pertanggungjawaban Habibie dalam Sidang Umum MPR RI hasil Pemilu 1999. Pemilu terbaik paling demokratis setelah Pemilu tahun 1955. penolakan ini membuat BJ, Habibie tidak bersedia maju sebagai kandidat calon presiden (Capres).
Ketika Habibie menjabat presiden hampir tidak ada hari tanpa demontrasi. Demontrasi itu mendesak Habibie merepon tuntutan reformasi dalam berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti kebebasan pers, kebebasan berpolitik, kebebasan rekrutmen politik, kebebasan berserikat dan mendirikan partai politik, mebebasan berusaha, dan berbagai kebebasan lainnya. Namun kendati Habibie merespon tuntutan reformasi itu, tetap saja pemerintahannya dianggap merupakan kelanjutan
Orde Baru . Pemerintahannya yang berusia 518 hari hanya dianggap sebagai pemerintahan transisi.
Keinginan Habibi mengakselerasi pembangunan sesungguhnya sudah dimulainya di Industri pesawat Terbang Nusantara (IPTN) dengan menjalankan program evolusi empat tahapan alih tehnologi yang dipercepat “berawal dari akhir dan berakhir diawal.”
Empat tahapan alih tehnologi itu, pertama, memproduksi pesawat terbang berdasarkan lisensi ituh dari industri pesawat terbang lain, hasilnya adalah NC 212 lisensi dari CASA Spanyol. Kedua, memproduksi pesawat terbang secara bersama- sama, hasilnya adalah “Tetuko” CN-235 berkapasitas 30-35 penumpang yang merupakan produksi kerjasama antara aqual antara IPTN dengan Casa Spanyol.
Ketiga, mengintegrasikan seluruh tehnologi dan sistem konstruksi pesawat terbang yang paling mutakhir yang ada di dunia menjadi sesuatu yang sama sekali didesain baru, hasilnya adalah “Gatotkoco” N-250 berkapasitas 50-60 pemumpang yang dikembangkan dengan teknologi fly-by-wire.
Keempat, memproduksi pesawat terbang berdasarkan hasil riset kembali dari awal, yang diproyeksikan bernama N 2130 berkapasitas 130 penumpang dengan biaya pengembangan diperkirakan sekitar 2 milyar dolar AS.
Empat tahapan alih tehnologi yang dipercepat didefinisikan “bermula dari akhir dan berakhir di awal,” memang sukar dipahami pikiran awam. Habibie dianggap hanyut dengan angan-angan teknologinya yang tidak memenuhi kebutuhan dasar tehnologi Indonesia, yang ternyata menbuat sepeda saja secara utuh belum sampai.