A. Pendahuluan
Sudah banyak didengar komentar tentang mutu pendidikan akhir-akhir ini. Namun, pada umummya komentar yang ada tidak dapat dikatakan hanya sebatas wacana, karena anggota masyarakat melihat dan merasakan namun sulit untuk membuktikan kebenaran dari komentar tersebut. Hal ini disebabkan karena tidak ada data yang menunjukkan apa dan bagaimana kelemahan yang dikeluhkan masyarakat. Oleh karena itu, perlu dicari di mana penyebab timbulnya wacana tersebut.
Untuk mengatasi wacana tersebut tidaklah cukup hanya membandingkan dengan data dari negara lain, seperti yang dapat dilihat dalam data Human Development Index yang dijadikan acuan untuk menunjukkan keadaan pendidikan. Data tersebut tidak dapat menunjukkan keadaan pendidikan secara khusus karena variabel yang digunakan sebagai ukuran bukan hanya pendidikan melainkan juga variabel kesehatan dan pendapatan per kapita.
Keluhan yang dilontarkan masyarakat sebagai pemakai jasa pendidikan terhadap mutu pelayanan pendidikan dewasa ini perlu ditanggapi. Oleh karena itu, diperlukan bukti empiris tentang kebenaran dari suatu situasi yang dialamatkan pada pendidikan. Untuk menggali bagaimana pandangan masyarakat terhadap mutu pelayanan pendidikan perlu dicari cara yang memungkinkan untuk dilakukan baik secara pribadi maupun kelompok.
Pertanyaan yang perlu diperhatikan sebelum memberikan komentar negatif terhadap pendidikan adalah “Apakah benar masyarakat sudah sangat tidak puas terhadap pendidikan dewasa ini atau ketidakpuasan hanya diarahkan pada beberapa lembaga yang memberikan pelayanan pendidikan? Atau ”Apakah semua lembaga pendidikan di tanah air ini memberikan pelayanan yang tidak memuaskan konsumennya? Berpijak dari pertanyaan ini, sangatlah tidak adil kalau mutu seluruh lembaga pendidikan beserta keluarannya disamaratakan, karena banyak lembaga pendidikan yang baik dengan keluaran yang baik pula. Lembaga itu tetap diperebutkan oleh masyarakat pemakai jasa pendidikan, hal ini dapat digunakan sebagai indikasi bahwa masih banyak lembaga yang dapat memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan keinginan konsumen. Hal ini berarti bahwa lembaga itu menghasilkan keluaran yang didambakan oleh masyarakat. Adanya lembaga pendidikan yang kurang atau belum memperhatikan apa yang diharapkan masyarakat tidak dapat dipungkiri, dan itulah yang harus diperbaiki. Pemerintah tidak perlu terlalu mencampuri lembaga-lembaga pendidikan yang sudah baik, tetapi alangkah baiknya bila peranan pemerintah diarahkan pada lembaga yang masih perlu ditingkatkan mutu pelayanannya.
B. Teori dan Pembahasan
1. Pendidikan
Pendidikan menurut dictionary of education dari http://education.yahoo.com “1. The act or process of educating or being educated, 2. The knowledge or skill obtained or developed by a learning process, 3. A program of instruction of a specified kind or level: driver education; a college education, 4. The field of study that is concerned with the pedagogy of teaching and learning, and 5. An instructive or enlightening experience: Her work in the inner city was a real education.
Pendidikan menurut Crow dan Crow (dikutip dari Sahara H, 1992), adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang sesuai dengan kegiatan seseorang untuk kehidupan sosialnya dan membantu kebiasaan-kebiasaan dan kebudayaan serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi.
Drijarkara, (Sihombing 2002: p.10) mengatakan bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia muda. Pengangkatan manusia muda ke taraf insani itulah yang menjelma dalam perbuatan mendidik. Oleh karena itu, mendidik tidak hanya memintarkan tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral pada peserta didik. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu, 1994: p. 342), pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan (proses; perbuatan; cara mendidik).
Dari pendapat-pendapat di atas dapat dilihat pokok-pokok penting pendidikan yaitu: (a) pendidikan adalah proses pembelajaran, (b) pendidikan adalah proses sosial, (c) pendidikan adalah proses memanusiakan manusia, (d) pendidikan berusaha mengubah/mengembangkan kemampuan, sikap, dan perilaku yang positif, dan (e) pendidikan merupakan perbuatan/ kegiatan sadar dan terarah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah proses sosial dalam memanusiakan manusia melalui pembelajaran yang dilakukan dengan sadar, baik secara terencana maupun tidak. Proses pendidikan bukan hanya apa yang disebut dengan transfer of knowledge, transfer of value, transfer of skill, namun keseluruhan kegiatan yang dapat memanusiakan manusia sehingga menjadi individu yang mampu mengembangkan dirinya dalam menghadapi dan memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupannya. Dengan kata lain, menjadi manusia yang memiliki keterampilan hidup, yang meliputi keterampilan sosial (modal sosial), keterampilan ekonomi, keterampilan politik, keterampilan budaya (Sihombing, 2002). Lebih tegas dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah perencanaan masa depan suatu bangsa.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sangatlah tidak masuk akal apabila pendidikan terjadi secara instant melalui terobosan-terobosan yang menghasilkan lulusan yang sifatnya kilat. Lembaga pendidikan yang bergerak secara instant inilah yang menghasilkan awan kelabu yang terus berakumulasi, membayangi dan menyelimuti dunia pendidikan dewasa ini, dan keluaran pendidikan seperti itu hanya akan menambah keterpurukan pendidikan. Dalam hal ini, siapa yang mau menjadi dewa penyelamat?
2. Pelayanan
Berbagai definisi diberikan untuk menjelaskan tentang jasa pelayanan, Kottler (2000: p. 428) mendefinisikan pelayanan/jasa, adalah suatu perbuatan di mana seseorang atau suatu kelompok menawarkan pada kelompok/orang lain sesuatu yang pada dasarnya tidak berwujud dan produksinya berkaitan atau tidak berkaitan dengan fisik produk.
Stanton (1981: p. 529) mengungkapkan definisi jasa adalah sesuatu yang dapat didefinisikan secara terpisah, tidak berwujud, dan ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan di mana jasa dapat dihasilkan dengan menggunakan benda-benda berwujud atau tidak.
Dari batasan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa jasa pelayanan adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan sesuatu yang tidak berwujud, namun dapat dinikmati. Keluaran dari usaha ini tidak dapat dilihat dan diraba. Dengan demikian, jelas bahwa pendidikan dapat dikategorikan sebagai suatu lembaga yang termasuk kategori pemberi pelayanan jasa, sehingga apabila ingin dilihat kinerjanya berasal dari mutu pelayanan yang dilakukannya.
Untuk memperkuat kenyataan tersebut, Kottler (1997: p. 465) mengatakan bahwa jasa yang diberikan kepada konsumen mengandung karakteristik: (1) “intangibility” (tidak berwujud), artinya adalah bahwa suatu jasa mempunyai sifat tidak berwujud, tidak dapat dirasakan dan tidak dapat dilihat, didengar atau dicium sebelum membelinya, misalnya pasien dalam kantor psikiater tidak dapat diramalkan hasil yang akan terjadi dari terapi pasien sebelumnya; (2) “inseparability” (tidak dapat dipisahkan), artinya adalah bahwa pada umumnya jasa dikonsumsikan (dihasilkan) dan dirasakan pada waktu bersamaan dan apabila dikehendaki oleh seseorang untuk diserahkan kepada pihak lainnya, dia akan tetap merupakan bagian dari jasa tersebut, dan hal ini tidak berlaku bagi barang fisik yang diproduksi, ditempatkan pada persediaan dan didistribusikan ke berbagai pengecer dan akhirnya dikonsumsi; (3) ”variability” (bervariasi), artinya bahwa barang jasa yang sesungguhnya sangat mudah berubah-ubah, karena jasa tergantung pada siapa yang menyajikan dan di mana disajikan. Pembeli akan berhati-hati terhadap keragaman ini dan seringkali membicarakannya dengan yang lain sebelum memilih seseorang penyedia jasa.
Di sisi lain, Kottler memberikan empat karakteristik batasan-batasan untuk jenis-jenis pelayanan jasa sebagai berikut: (a) jasa berbeda berdasarkan basis peralatan (equipment based) atau basis orang (people based) di mana jasa berbasis orang berbeda dari segi penyediaannya, yaitu pekerja tidak terlatih, terlatih, atau profesional; (b) beberapa jenis jasa adalah yang memerlukan kehadiran dari klien (client’s presence); (c) jasa juga dibedakan dalam memenuhi kebutuhan perorangan (personal need) atau kebutuhan bisnis (business need); dan (d) jasa yang dibedakan atas tujuannya, yaitu laba atau nirlaba (profit or non profit) dan kepemilikannya swasta atau publik (private or public).
Apabila diperhatikan batasan dan karakteristik yang diutarakan di atas, ternyata dunia pendidikan merupakan bagian dari batasan tersebut. Dengan demikian, lembaga pendidikan dapat dikategorikan sebagai lembaga pemberi jasa pada para konsumen, dalam hal ini siswa/pelanggan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini siswa/mahasiswa/orang tua/pemakai keluaran pendidikan adalah pelanggan dari lembaga pendidikan. Mereka inilah yang berhak memberikan penilaian bermutu tidaknya keluaran suatu lembaga pendidikan.
3. Pelanggan
Pada saat mendengar kata pelanggan, kebanyakan orang mengasosiasikannya dengan pembeli, sehingga pengertian ini menjadi sempit. Kata pelanggan memiliki arti yang jauh lebih luas karena mencakup mereka yang memperoleh manfaat dari suatu kegiatan baik produksi maupun jasa. Dengan demikian, pelanggan dapat dikategorikan atas: pembeli untuk kegiatan jual beli; peserta didik, orang tua, pengusaha, dan pemerintah untuk kegiatan di bidang pendidikan; penumpang, wisatawan, dan penonton pada layanan seperti angkutan, parawisata, hiburan, perjalanan, dan bidang pariwisata.
Dalam pembahasan mengenai kepuasan masyarakat, pengertian masyarakat yang digunakan adalah dalam pengertian yang dibatasi seperti yang sudah disebutkan di atas. Untuk itu, perhatian dipusatkan pada bagaimana mengukur kepuasan dari mereka yang dilayani, atau dalam lingkungan suatu lembaga pendidikan. Karena kepuasan mereka merupakan misi yang harus diwujudkan apabila kegiatan ingin diterima dan berkembang di masyarakat.
Dalam dunia yang penuh persaingan dewasa ini, kepuasan pelanggan merupakan faktor penentu untuk merebut keunggulan dalam bersaing. Jika dihasilkan barang dan jasa yang tidak bermutu, maka pelanggan akan kabur. Jika dihasilkan barang dan jasa yang harganya mahal, pelanggan akan berpindah pada penyedia barang atau jasa yang lebih murah namun sama mutunya. Jika dihasilkan barang dan jasa yang tidak diinginkan oleh pelanggan, tidak terlalu lama perusahaan akan gulung tikar. Pelanggan menuntut suatu bukti imbalan yang minimal seimbang dari pengorbanan yang diberikan. Setiap pelanggan memiliki harapan yang tertentu dari setiap pengorbanannya.
Konsumen adalah mereka yang memanfaatkan hasil dari suatu badan, perusahaan, institusi atau sering juga disebut sebagai orang yang mau membelanjakan uangnya untuk membeli suatu yang ditawarkan oleh suatu badan. Dengan demikian, siswa/pelanggan sebagai orang yang mengambil manfaat dari jasa yang diberikan lembaga pendidikan dapat dikategorikan sebagai konsumen lembaga pendidikan.
Menurut Zeithaml et al dalam penelitiannya (1990: p. 20), kepuasan konsumen dalam bisnis pelayanan jasa dapat diukur dari kesenjangan antara harapan dan persepsi pelanggan tentang pelayanan yang akan diterima. Harapan pelanggan mempunyai dua pengertian. Pertama, apa yang pelanggan yakini akan terjadi pada saat layanan disampaikan. Kedua, apa yang diinginkan pelanggan untuk terjadi (harapan). Persepsi adalah apa yang dilihat atau dialami setelah memasuki lingkungan yang diharapkan memberi sesuatu padanya. Secara tradisional pengertian kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan merupakan perbedaan antara harapan dan kinerja yang dirasakan (perceived performance).
Kepuasan pelanggan ditentukan oleh dua variabel kognitif yakni harapan pada saat sebelum pembelian (prepurchase expectation) yaitu keyakinan tentang kinerja yang diantisipasi dari suatu produk jasa dan “disconfirmation” yaitu perbedaan antara perbedaan prapembelian dan persepsi dari purnapembelian (post purchase prescription)”.
Kottler (1997: p. 40) mendefinisikan kepuasan pelanggan adalah kepuasan atau kekecewaan yang dirasakan oleh konsumen setelah membandingkan antara harapan dengan kenyataan yang ada. Day dalam Tjiptono (1998:24) mengatakan: “Kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian (disconfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya atau harapan kinerja lainnya dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaiannya.”
Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kepuasan siswa, orangtua, atau pemakai jasa adalah perbandingan antara harapan yang diinginkan para siswa/orangtua pada saat mereka mendaftar (mendaftarkan anak) menjadi siswa sekolah tertentu, dengan apa yang mereka rasakan setelah mengikuti pelajaran (persepsi). Persepsi adalah situasi yang dihadapi setelah mengikuti atau menyelesaikan suatu tahapan pembelajaran sehingga mereka benar-benar memahami apa yang dihadapinya. Apabila dilihat dari sudut pemakai jasa pelayanan pendidikan, maka harapan adalah keinginan untuk mendapatkan lulusan yang siap memasuki dunia mereka sedangkan persepsi adalah apa yang dilihat, dialami atas hasil kerja keluaran pendidikan.
C. Faktor yang Berpengaruh Terhadap Kepuasan
Berry dan Parasuraman (1991: p. 16), seperti dikutip oleh Kottler (2000: p. 440), mengungkapkan lima faktor dominan atau penentu mutu pelayanan jasa, yang pada akhirnya menjadi penentu tingkat kepuasan. Kelima faktor itu bila diterapkan pada lembaga pendidikan adalah seagai berikut:
Pertama, keandalan (reliability), yaitu kemampuan guru/dosen untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan, terpercaya, akurat, dan konsisten.
Kedua, daya tanggap (responsiveness), yaitu kemauan dari karyawan dan pengusaha/pemilik lembaga untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat dan bermakna serta kesediaan mendengar dan mengatasi keluhan yang diajukan konsumen, misalnya penyediaan sarana yang sesuai untuk menjamin terjadinya proses yang tepat.
Ketiga, kepastian (assurance) yaitu berupa kemampuan karyawan untuk menimbulkan keyakinan dan kepercayaan terhadap janji yang telah dikemukakan kepada konsumen, misalnya janji dalam promosi.
Keempat, empati (emphaty), yaitu kesediaan guru/dosen/karyawan dan pengelola untuk lebih peduli memberikan perhatian secara pribadi kepada langganan, misalnya guru/dosen/karyawan atau pengelola harus mencoba menempatkan diri sebagai peserta didik/orang tua/pelanggan. Jika pelanggan mengeluh maka harus dicari solusi untuk mencapai persetujuan yang harmonis dengan menunjukkan rasa peduli yang tulus.
Kelima, keberwujudan (tangible), yaitu berupa penampilan fasilitas fisik, peralatan, dan berbagai materi komunikasi (Alma, 1992: p. 231), misalnya gedung dan kebersihan yang baik serta penataan ruangan yang rapi.
Kepuasan konsumen merupakan perbandingan antara apa yang diharapkan konsumen/pelanggan pada saat memutuskan/diputuskan untuk mengikuti suatu program pendidikan yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan dengan persepsi/realita yang dirasakan dan dialami setelah menerima jasa yang diberikan pengelola pendidikan. Hasil ini dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan mutu produk dan jasa dalam mengusahakan mutu layanan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kepuasan adalah fungsi dari kinerja yang diterima dan diharapkan, “satisfaction is a function of perceived performance and expectations.”
D. Cara Menentukan Tingkat Kepuasan
Untuk menentukan kepuasan pelanggan diperlukan data yang menggambarkan lima faktor di atas yang diwujudkan dalam bentuk harapan dan kenyataan. Data dikumpulkan dengan metode survei. Data yang sudah terkumpul diolah dengan menggunakan metode yang disebut oleh Zeithaml dan Parasuraman dengan metode ServQual (service quality) yang menggambarkan dan menerangkan tingkat kepentingan pelanggan/siswa lembaga pendidikan secara mutu dan kuantitas. Untuk menentukan tingkat kepentingan dari kelima dimensi tersebut, masyarakat/responden memberikan bobot terhadap masing-masing dimensi dalam bentuk persentase, sehingga bobot total adalah 100%. Dimensi yang diberi bobot lebih tinggi, menunjukkan penilaian responden pada dimensi itu lebih penting dari dimensi yang lain. Untuk menjawab sejauhmana mutu pelayanan lembaga pendidikan untuk memenuhi kepuasan pelanggan/siswa, digunakan importance–performance analysis atau analisis tingkat kepentingan konsumen dan kinerja pemberi jasa, yang dikutip oleh Supranto (2001: p. 239).
Untuk mendapatkan data yang diperlukan, kelima faktor dominan penentu kepuasan dijabarkan menjadi butir-butir dalam bentuk pernyataan, dengan alternatif jawaban menggunakan skala Likert. Pengukuran hasil survei dilakukan dengan membandingkan harapan dengan persepsi, dengan mencari rata-rata dari tiap butir instrumen, kemudian dicari rata-rata tiap dimensi, melalui rata-rata dari jumlah rata-rata harapan dan persepsi. Untuk melihat hasil secara menyeluruh, dilakukan penjumlahan rata-rata dari gap (selisih kenyatan dan harapan) yang dikalikan bobot dimensi yang ada. Hasil >-1, misalnya –0,40, berarti baik dan < -1, misalnya –1,20, berarti hasil kurang baik. Dengan demikian, semakin besar nilainya maka tingkat kepuasan semakin baik. Namun hasil ini tidak pernah 1(+) atau lebih. Apabila gap positif, hal ini menggambarkan bahwa masyarakat/pelanggan dianggap sangat puas, namun kemungkinan terjadinya gap positif sangat kecil (Hadi Irawan, 2002: p. 131). Hal ini karena secara keseluruhan apa yang dialami (persepsi) jarang lebih baik dari apa yang diharapkan.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa untuk mengukur kepuasan pelanggan terhadap pelayanan yang diperoleh dari suatu lembaga pendidikan, digunakan tiga tahapan analisis sebagai berikut. Pertama, untuk menjawab masalah mengenai sejauh mana mutu pelayanan sekolah tertentu untuk memenuhi kepuasan pelanggan/siswa atau tingkat kesesuaian antara kinerja sekolah dengan kepentingan siswa, digunakan importance – performance analysis atau analisis tingkat kepentingan konsumen dan kinerja pemberi jasa. Kedua, untuk mengetahui tingkat kepuasan siswa atas pelayanan yang diberikan suatu sekolah, digunakan metode ServQual yang dikembangkan Parasuraman et al, yang banyak digunakan sampai saat ini dalam penelitian kepuasan pelanggan. Ketiga, untuk menggambarkan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan, digunakan diagram Kartesius.
E. Kesimpulan
Ada lima faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan atau masyarakat terhadap layanan pendidikan yaitu keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), kepastian (assurance), empati (empaty) dan terwujud (tangible).
Untuk mengetahui keadaan pelayanan pendidikan, perlu dilakukan pengukuran penilaian masyarakat/pelanggan. Hasil penilaian perlu disebarluaskan sehingga masyarakat dapat menentukan mana pelayanan pendidikan yang layak untuk dipilih, mana yang harus dihindari. Akhirnya, masyarakat yang akan mengadili lembaga pendidikan yang ada.
Metode ServQual merupakan cara pengukuran kepuasan pelanggan yang sederhana, mudah digunakan dan diinterpretasikan, dan cara ini dapat digunakan untuk semua pengukuran yang berhubungan dengan kepuasan pelanggan, tidak terkecuali bidang pendidikan.
Daftar Pustaka
Alma, Buchary. 1992. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa, Bandung: Alfabeta
Badudu, Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Berry, Leonard, and Parasuraman. 1991. Marketing Service Competing Through Quality New York: The Free Press
Handi Irawan, D. 2002. 10 Prinsip Kepuasan Pelanggan. Jakarta: PT Elok Media Kaputindo
Kottler, Philips. 1997. Marketing Management Analysis, Planning, Implementation and Control & Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc
Kottler, Philips. 2000. Marketing Management Millenium Edition. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Sahara, H. dan Jamal Lisman H. 1992. Pengantar Pendidikan 1, Jakarta: PT Gramedia Widia Sarana
Sihombing, U. 2002. Pendidikan Berbasis Masyarakat. Jakarta: CV Multiguna
Supranto, J. 2001. Pengukuran Tingkat Kepuasan Pelanggan. Jakarta: Rineka Cipta
Stanton, William J. 1981. Fundamentals of Marketing. Mc. Graw Hill International
Tjiptono, Fandy. 1998. Strategi Pemasaran Ed. 2 Yogyakarta
Zeithmal, Valari, A. Parasuraman A. and Berry, Leonard. 1990. Delivering Quality
Service Balancing Customer Perception and Expectation. New York: The Free Press